PANCASILA SEBAGAI IDIOLOGI NEGARA, INDIKATOR MORAL ATAU STRUKTUR APLIKATIF ?..
(oleh Johari Ginting / Majelis Pembina Daerah PMII Riau)
Riau Oposisi.com.
Pancasila satu kalimat yang sederhana memang dan selalu saja mudah untuk diucapkan bahkan sampai berulang-ulang. Guru dan dosen mengajarkan kepada kita dalam mata pelajaran Pancasila. Bahkan dahulu pernah ada mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP), semasa Orde Baru.
Kesederhanaan kalimat tersebut yang akhirnya disepelekan, sehingga sampai saat ini mengakibatkan pemahaman kita tentang Pancasila sebagai idiologi negara dalam penempatannya menjadi sangat keliru, bahkan mungkin kurang menyadari betapa pentingnya tatanan atau konstruksi Pancasila itu sendiri dalam pranata kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga Pancasila tetap hanya dijadikan sebatas hafalan. Itupun semua warga negara juga belum tentu bisa. Bahkan sampai terjadi pada seorang calon Presiden sekalipun bisa tidak hafal Pancasila.
Yang ingin saya sampaikan disini adalah bahwa Pancasila sebagai dasar negara atau Idiologi negara, dimana nilai-nilai, falsafah, kaidah, norma dan anasir-anasirnya secara integral dari kelima sila dari Pancasila itu, apakah sudah menjadi terwajantah dalam praktek penyelenggaraan bernegara, berbangsa dan pemerintahan secara Terstruktur, Sistematis dan Massif?, atau hanya sebagai justifikasi moral saja bagi warga bangsa, atau juga mungkin hanya sebagai simbol dan sloganistik semata?.
Atau apakah ada Pancasila itu dijadikan suatu manhaj fikr atau ‘akla atau metodologi cara berfikir yang perspektif dalam mencapai tujuan bersama pada konteks suasana perbedaan, atau dengan kata lain apakah Pancasila dijadikan sebagai kerangka berfikir dan sekaligus sebagai alat ukur, parameter atau indikator, dipakai atau tidaknya falsafah itu sendiri dalam kerangka perikehidupan berbangsa dan bernegara?.
Karena kalau tujuan berbangsa dan bernegara telah termaktub dalam pembukaan UUD ’45. Tujuan berbangsa dan bernegara dicapai.. berdasarkan..dst.(5 sila, walaupun tidak disebutkan kata Pancasila).
Sehingga dengan demikian disini perlunya diadakan koreksi yang mendasar. Dan semestinya di era reformasi yang sudah berjalan selama 20 tahun lebih ini, sejatinya buah dari reformasi itu telah memberikan pencerahan dan klarifikasi yang konkrit sehingga didapat suatu konklusi agar Pancasila tinggal melaksanakan dan terimplementatif, sehingga tidak bias lagi, tidak salah arah atau tidak keliru seperti selama ini yang sudah lewat, tapi yang sangat disayangkan Pancasila tidak lagi dibahas….bahkan sampai sekarangpun, dimana Pancasila sudah sangat jauh melenceng, bahkan dibicarakanpun lagi tidak, begitu dibicarakan malah menjadi ribut dan tidak ada kesimpulan apapun…
Anehnya selama ini tidak ada seorangpun atau satu lembagapun yang menyadari hal ini, karena masing masing sibuk mencari kekuasaan lewat politik dan memperkaya diri sendiri dan berebut kepentingan kelompoknya. Jadi tidak menjadi suatu keanehan bila mana terjadi kegaduhan dan justru memberi peluang kepada eksperimen stigma idiologi primordialis lainnya yang seksi, tambah kacau lagi…
Lembaga yang dibentuk berupa Badan Pemantapan Idiologi Pancasila (BPIP) fungsinya sepertinya stagnan. Dan setelah saya amati dan telusuri mayoritas dari warga bangsa ini menjadi sangat kering dan haus serta senantiasa menunggu akan pencerahan, pemahaman , penjelasan, penjabaran akan Pancasila itu sendiri…apalagi merekonstruksi pada mindset hubungannya antara agama dan Pancasila secara integralistik, disebabkan fakta bahwa penduduk Indonesia semua beragama..
Sangat perlu ununtuk diketahui secara komparatif dan sebagai tinjauan perbandingan serta agar jelas lebih signifikan benang merahnya bahwa semasa Orde Baru penyimpangan ajaran Pancasila yang terjadi dilakukan yaitu dengan meng ‘ agama ‘ kan Pancasila.
Dimana dibuatlah suatu rancangan yang mengatasnamakan negara, dimana kita pernah ketahui bahwa disusun 36 butir Pancasila. Dalam hal ini negara dan pemerintah ditempatkan pada posisi pemangku pemilik norma dan moralitas Pancasila yang kemudian dijadikan sebagai alat justifikasi atau indikator kepada warga negara , apakah sesuai atau tidaknya prilaku seseorang terhadap norma dan moral ‘Pancasila ‘ , yang pada akhirnya banyak menelan korban.
Sehingga alangkah naifnya dimana aturan yang diterapkan itu justru disusun dan diciptakan oleh manusia dalam suatu rezim. Padahal secara logika moralitas manusia sesungguhnya ditentukan oleh ajaran agama yang bersumber dari Tuhan bagi tiap warga negara sesuai dengan agama yang dianutnya masing-masing, yang lebih bersifat universal, ketimbang terbatas hanya berlaku pada satu negara saja.
Dengan berdalih melaksanakan penghayatan dan pengamalan Pancasila secara murni dan konsekwen, rezim orde baru sebenarnya justru mendeskreditkan serta mereduksi Pancasila, bahkan lebih menghinakan/pelecehan terhadap Pancasila itu sendiri. Sebagaimana kita ketahui dibentuknya sebuah lembaga yaitu BP 7 yang menghabiskan uang negara, kemudian diadakan Penataran P4 (pedoman, penghayatan dan pengamalan pancasila) dengan tutor diberi nama Manggala BP7 yang nota bene adalah kebanyakan orang orang pejabat pemerintah yang meja kosong atau non job karena menurut pimpinan telah berbuat kesalahan atau pejabat yang bermasalah, paling tidak sudah tidak sejalan dengan kemauan rezim atau menentang arus. Jadi bagaimana seseorang yang telah bersalah mengajari pengamalan Pancasila?…
Sampai saat ini bahwa kekeliruan itu tidak pernah dijelaskan dan menjadi keputusan atau TAP MPR atau UU, paling tidak ada penjelasannya, karena tidak ada maka apa yang terjadi dimasa lalu itu malah dijadikan sebuah pembenaran atas praktek yang salah dimasa lampau itu, berapologi dan tidak sedikit orang-orang yang berhalusinasi dan berilusi ingin kembali kemasa yang lalu/orde baru, dan mereka sebagai pecundang-pecundang yang berkeliaran dinegara ini. Pada hal itu nyata setback.
Pancasila semestinya dipakai menjadi kaidah dalam praktek penyelenggaraan negara, bukan sebagai pengukur moralitas warga negara, tapi justru sebaliknya warga negara/warga bangsa/masyarakatlah yang menilai atau memberikan penilaian/mengkoreksi/mengawasi/mengingatkan , apakah negara bangsa ini sudah dikelola, dijalankan, diatur dan aplikasi program pembangunan berdasarkan kaidah dasarnya Pancasila atau dengan kata lain apakah sudah ber Idiologikan Pancasila atau tidak?. Sudahkah ekonomi dikelola berdasarkan Pancasila?. Apakah hukum sudah disusun dan di terapkan berdasarkan Pancasila? dst. Sementara etika, norma dan moral personal ditentukan oleh nilai-nilai agama, adab, adat istiadat dalam sebuah pranata kehidupan yang bersifat komunal dan transendental, artinya ada pertanggungjawaban setiap orang kepada Tuhannya. Harusnya sudah seperti itu.
Maka dengan demikian antara Pancasila dan Agama secara significant ditempatkan secara struktur dan eskalatif antara fungsi nilai normatif dan teknik struktur aplikatif, sehingga agar saling menyirami serta saling menyuburkan secara kontinyiuitas. Jadi tidak ada lagi membenturkan antara agama dan pancasila sebagai idiologi negara…Trims.